HEADLINE
Dark Mode
Large text article

KH Chudlori Ulama Rendah Hati Dan Bersahaja

KH Chudlori Ulama Rendah Hati Dan Bersahaja

KH Chudlori Ulama Rendah Hati Dan Bersahaja

KH Chudlori Ulama Rendah Hati Dan Bersahaja adalah Mu'assis pendiri Pondok Pessantren API Tegalrejo. Cukup banyak pondok pesantren berkembang di Magelang, Jawa Tengah. Salah satunya yang termasyhur adalah Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo. Pendirinya merupakan seorang ulama karismatik, KH Chudlori.

Sosok Kiai Chudlori dikenang sebagai dai yang alim, rendah hati, dan mengayomi masyarakat. Dalam menyebarkan syiar Islam, alumnus Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, itu selalu mengutamakan pendekatan rahmatan lil 'alamin. Mubaligh yang wafat pada 1977 itu juga dikenal gemar mengamalkan latihan-latihan rohani atau riyadhah.

Chudlori merupakan putra pasangan Muhammad Ikhsan, yang bekerja sebagai penghulu masjid, dan Mujirah. Anak kedua dari 10 bersaudara itu lahir sebelum Indonesia merdeka. Tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti.

Chudlori kecil menempuh pendidikan dasar di sebuah sekolah pribumi berbahasa Belanda atau Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Setelah itu, ia menjadi seorang santri kelana. Rihlah keilmuan dilakukannya dari satu pesantren ke pesantren lainnya di Tanah Jawa. Minatnya memang besar dalam mempelajari ilmu-ilmu agama Islam.

Pada 1923, Chudlori menjadi santri di Pondok Pesantren Payaman, yang dipimpin KH Siroj. Ia menghabiskan banyak waktu dengan belajar dan mengaji. Setelah dua tahun menimba ilmu di sana, dirinya melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Kuripan yang diasuh KH Abdan.

Tak berhenti di situ, beberapa tahun kemudian ia pindah ke pesantren yang diasuh Kiai Rahmat di Gragab hingga tahun 1928. Setelah itu, barulah ia nyantri di Tebuireng yang didirikan sang perintis Nahdlatul Ulama (NU), Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.

Saat di Pesantren Tebuireng, Chudlori termasuk kalangan santri yang cerdas dan rajin. Di luar pengajian rutin, ia selalu menyempatkan diri untuk mengasah kemampuan dalam membaca dan mendalami berbagai kitab klasik.

Saat itu, kedua orang tuanya kerap mengirimkan bekal sebesar Rp 750 per bulan kepadanya sebagai bekal. Jumlah tersebut bisa dibilang cukup banyak pada masa itu. Namun, santri yang gigih dalam menuntut ilmu itu hanya menghabiskan rata-rata Rp 150 per bulan. Sisanya kemudian dikembalikan kepada ayah dan ibunya.

Sebab, Chudlori di Tebuireng mengamalkan prinsip kesederhanaan. Ia biasa memakan singkong dan minum air yang digunakan untuk merebus singkong tersebut. Mungkin, orang-orang akan mengiranya berlaku terlalu hemat untuk dirinya sendiri.

Ia biasa memakan singkong dan minum air yang digunakan untuk merebus singkong.

Padahal, amalan itu dilakukannya juga dalam rangka menempa jiwa atau riyadhah. Memang, kebanyakan para santri setempat melakukannya sebagai kebiasaan sehari-hari.

Semasa di Tebuireng, Chudlori membuat sendiri kotak belajar khusus dari papan tipis. Kotak tersebut ditempatkannya di antara loteng dan atap. Jika ingin menghafal atau memahami materi pelajaran, pemuda ini akan duduk di atas kotak itu.

Dengan demikian, dirinya bisa berkonsentrasi dengan baik. Belajar dengan cara itu dilakukannya setiap hari hingga tengah malam, menjelang waktu tidur dan shalat tahajud.

Di Tebuireng, ia belajar dengan tekun. Hampir setiap hari ia membaca kitab-kitab kuning hingga tengah malam. Jika tertidur sebelum tengah malam, ia pun akan menghukum dirinya sendiri dengan berpuasa pada hari berikutnya tanpa makan sahur. Demikianlah caranya dalam melatih dirinya sendiri agar disiplin.

Setelah dari Tebuireng, Chudlori kemudian pindah ke Pondok Bendo, Pare, Kediri, pada 1933. Di sana, ia belajar pada KH Chozin Muhajir, terutama dalam bidang-bidang keilmuan fikih dan tasawuf. Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali dikajinya semasa nyantri di Pare.

Empat tahun berikutnya, ia mengaji di Pesantren Sedayu. Durasi tujuh bulan lamanya dikhususkan untuk belajar ilmu membaca (qiraat) Alquran. Setelah meraih hasil yang optimal, dirinya pun meneruskan perjalanan lagi pada 1937. Kali ini, tujuannya adalah Pondok Pesantren Lasem, Jawa Tengah. Lembaga tersebut diasuh KH Ma'shum dan KH Baidlowi.

Kiai Baidlowi sangat terkesan dengan ketekunan santrinya itu. Bahkan, Chudlori sering diminta untuk menjadi pengajar-pengganti (badal) kepada para santri lainnya. Inilah awal mula dirinya berperan sebagai penceramah. Mengamalkan ilmu-ilmu agama untuk membimbing umat dan masyarakat.

Mendirikan pesantren

Pada 1940, tokoh dari Magelang ini mengakhiri masa lajangnya. Ia menikah dengan seorang putri KH Dalhar, pendiri Pondok Pesantren Watu Congol. Dari pernikahan itu, dirinya memperoleh 10 orang anak. Bersama dengan sang mertua, KH Chudlori meneruskan dakwah Islam, terutama di Magelang dan sekitarnya.

Pada mulanya, Kiai Chudlori menjadi pengajar di Pesantren Watu Congol. Lama kelamaan, timbul keinginan dalam dirinya untuk mendirikan pesantren sendiri. Sebab, ia ingin mengajarkan ilmu-ilmu agama di kampung halamannya sekaligus memperkuat geliat syiar Islam di sana.

Kiai Chudlori kerap melakukan mujahadah setiap malam Jumat. Di samping itu, ia juga menyampaikan keinginannya untuk mendirikan pesantren kepada mertuanya. Kiai Dalhar ternyata setuju dan mendukung rencana tersebut.

Begitu kembali ke Tegalrejo, Kiai Chudlori mulai merealisasikan visinya. Akhirnya, berdirilah Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, tepatnya pada 15 September 1944. Pada awalnya, santri yang menuntut ilmu di sana hanya delapan orang. Namun, seiring berjalannya waktu jumlah peserta didik terus bertambah hingga mencapai ribuan orang.

Seiring berjalannya waktu jumlah peserta didik terus bertambah hingga mencapai ribuan orang.

Kiai Chudlori pada awalnya mendirikan pesantren di Tegalrejo tanpa memberikan nama, sebagaimana layaknya pondok-pondok pesantren lain. Namun, setelah mendapatkan saran dan usulan dari rekan seperjuangannya, pada 1947 ditetapkanlah nama Asrama Perguruan Islam (API) itu.

Dengan pesantren ini, dirinya berharap agar para santri kelak dapat menjadi pencerah di tengah umat dan masyarakat. Harapannya, santri-santrinya itu bagaikan api yang menerangi kehidupan di tengah pelbagai tantangan zaman.

Salah satu latar pendirian pesantren tersebut adalah semangat jihad yang dimiliki Kiai Chudlori. Apalagi, kondisi masyarakat Tegalrejo pada saat itu masih diwarnai berbagai penyimpangan.

Tak sedikit warga setempat yang melakukan perbuatan-perbuatan syirik meskipun mendaku diri sebagai Muslimin. Hadirnya API Tegalrejo diharapkan dapat mengikis dan menghilangkan sama sekali tradisi yang bertentangan dengan syariat itu.

Harapannya, santri-santrinya itu bagaikan api yang menerangi kehidupan di tengah pelbagai tantangan zaman.

Memang, awalnya masyarakat umum Tegalrejo bersikap acuh tak acuh atas pembangunan Pondok Pesantren API. Mereka yang menganut kejawen juga tak jarang membuat kericuhan. Bahkan, akibatnya kegiatan belajar-mengajar di pesantren tersebut acapkali terhenti.

Bagaimanapun, Kiai Chudlori tidak memakai cara-cara kekerasan, verbal maupun tindakan, terhadap mereka. Sebagai seorang mubaligh yang digembleng bertahun-tahun di berbagai pondok pesantren, ia tetap tegar dalam menghadapi tantangan.

Pada akhirnya, mayoritas warga menerima dengan tangan terbuka hadirnya Pesantren API Tegalrejo. Bahkan, semakin banyak anak-anak mereka yang dididik sang kiai di sana.

Pembentukan kurikulum yang diterapkan di sana membutuhkan waktu tujuh tahun untuk menjadi lengkap. Salah satu materi yang selalu diajarkan kepada para santri setempat ialah tasawuf, baik secara konsep maupun amalan-amalan.

Bahkan, bisa dikatakan bahwa itulah inti kurikulum Pesantren API Tegalrejo. Alhasil, orang-orang mengenalnya sebagai salah satu pesantren tasawuf di Jawa Tengah.

Ketika Belanda melakukan agresi militer, pesantren tersebut juga turut serta dalam gelanggang perjuangan. Para kiai dan santrinya terjun langsung ke medan gerilya. Bahkan, Kiai Chudlori pun menjadi salah satu target buruan penjajah. Sebagian bangunan pesantren itu kemudian dibakar habis tentara musuh.

Bahkan, Kiai Chudlori pun menjadi salah satu target buruan penjajah.

Sejumlah santri dan Kiai Chudlori sendiri serta keluarganya terpaksa mengungsi dari satu desa ke desa lain. Begitu Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda pada 1949, kondisi kembali pulih. Sang kiai pun dapat kembali membangun pesantrennya.

Pembangunan itu dibantu masyarakat sekitar yang bersimpati terhadap perjuangannya. Maka, jumlah santri pun bertambah banyak. Pada 1977, tercatat sebanyak 1.500 orang menjadi santri di sana.

Pesantren API merupakan hasil perjuangan dan warisan Kiai Chudori untuk kemajuan agama dan bangsa Indonesia. Setelah puluhan tahun mengabdi, Kiai Chudori wafat pada 28 Agustus 1977. Ia dimakamkan di kompleks makam keluarga yang masih termasuk area Pesantren API.

Dakwahnya kemudian dilanjutkan oleh putra-putranya. Pondok Pesantren API Tegalrejo kini dipimpin seorang putranya yang bernama KH Muhammad Yusuf Chudlori atau Gus Yusuf.

Antara Gamelan dan Membangun Masjid Jami

Melalui Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, yang didirikannya, KH Chudlori berhasil melakukan kaderisasi ulama. Pola pendidikan yang diterapkan di sana tidak hanya memadukan antara ilmu dan amal, tetapi juga latihan-latihan spiritual yang kental akan nuansa tasawuf.

Salah satu produk gemblengan pondok pesantren itu ialah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Presiden keempat Republik Indonesia itu pernah belajar langsung kepada Kiai Chudlori di Tegalrejo. Dalam sebuah artikel, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sunan Pandanaran Yogyakarta Nur Kholik Ridwan mengatakan, Gus Dur menjadi santri di sana sejak tahun 1957.

Selama kira-kira dua tahun, cucu Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari itu mondok di Pesantren API Tegalrejo. Dan, ada cukup banyak cerita yang berkaitan dengan rihlah keilmuan Gus Dur selama digembleng Kiai Chudlori.

Di antaranya adalah, tatkala putra KH Wahid Hasyim itu mendapatkan nasihat yang “membingungkan” dari sang pendiri pondok pesantren. Ya, Kiai Chudlori menyarankan kepada orang-orang yang meminta nasihatnya agar membeli gamelan terlebih dahulu daripada membangun sebuah masjid besar.

“Pada saat itu, Gus Dur menyaksikan penduduk kampung yang mendatangi Kiai Chudlori di pesantrennya. Mereka sebelumnya sudah melakukan musyawarah, tetapi belum menemukan titik temu terkait pembagian dana kas desa,” tutur Nur Kholik.

Pada saat itu, Gus Dur menyaksikan penduduk kampung yang mendatangi Kiai Chudlori di pesantrennya.

Sebagian masyarakat itu, lanjut Nur, menginginkan agar dana tersebut digunakan untuk membangun masjid. Sebagian lainnya menghendaki uang itu dipakai untuk membeli alat-alat kebudayaan, termasuk gamelan. Maka kedua belah pihak pun menghadap Kiai Chudlori, yang disaksikan para santri termasuk Gus Dur.

Kiai Chudlori pun memberikan pendapatnya. Sang alim menyarankan agar sebaiknya dana itu digunakan untuk membeli gamelan. Pihak yang pro-membangun masjid mendengar itu cukup terkejut dan bingung. Namun, mereka tetap menyimak penuturan sang kiai.

Menurut Kiai Chudlori, kalau gamelannya sudah ada dan masyarakatnya rukun, nanti dengan sendirinya dana untuk masjid akan ada. Sebab, keadaan warga setempat sudah menjadi kompak sehingga mudah diajak bergotong royong. Dengan kerja sama, pekerjaan apa pun akan terasa ringan, termasuk membangun sebuah masjid yang besar

Dari cerita tersebut, dapat diambil suatu nilai bahwa Islam tidak hanya simbolik untuk bangunan, tetapi lebih kepada pendekatan nilai-nilai. Apa gunanya masjid berdiri megah, tetapi masyarakatnya terpecah belah dan tak pernah bersatu