Biografi Singkat KH Ahmad Bushaeri Masa Kecil
Biografi Singkat KH Ahmad Bushaeri Masa Kecil
Biografi Singkat KH Ahmad Bushaeri Masa Kecil adalah kisah salah satu ‘Ulama di Karawang. Disebuah kampung yang jauh dari keramaian, kampung tersebut bernama Rawamerta. Lahir bocah yang bernama SURYA, beliau adalah anak kedua dari enam bersaudara hasil dari pernikahan H. MUSA Bin Salwa (Mah Uca) dengan Hj. SYAFI’AH Binti Ramunah (Mak Iah). Beliau dilahirkan pada tahun 1923 Masehi. Sukamerta adalah sebuah perkampungan yang termasuk salah satu desa di Kecamatan Rawamerta Kabupaten Karawang.
Penduduknya dari dahulu sangat bersahaja dan relijius. Hal itu merupakan karakter sebuah masyarakat pedesaan yang dikelilingi oleh persawahan atau lebih terkenal denagn lumbung padinya.
SURYA, demikian nama kecil KH. AHMAD BUSYAERI lahir dan dibesrkan dalam lingkungan keluarga agamis. Hidup dibawah bimbingan langsung oleh kakeknya “Mbah Ma’il”. Surya tumbuh sesuai dengan harapan orangtua familinya yakni orang baik, berbudi luhur, rendah hati dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Sebersit harapan mulai tampak ketika usia Surya menginjak remaja. Pemudah Surya kelihatan begitu lincah, rajin belajar dan tekun beribadah. Ketekunan dan ketaatan Surya membuat kedua orang tuannya berinisiatif untuk memondokan Surya ketanah leluhurnya di Banten guna belajar memperdalam bacaan Al-Qur’an, itu ditempuh kurang lebih selama satu tahun.
MENUNTUT ILMU DI PESANTREN
Pemuda Surya yang memiliki Himmatul Ulya (cita-cita yang tinggi) didalam hatinya bergelora untuk terus belajar manggali ilmu agama. Hal itu ditunjukan setelah beliau pulang dari Banten mengaji Al-Qur’an dilanjutkan untuk menuntut ilmu di Pondok Pesantren Sukamiskin Bandung yang saat itu diasuh oleh Ulama Besar Yaitu KH. Raden Dimyati dalam kurun waktu menjelang tahun-tahun kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945. Pesantren Sukamiskin Bandung dalam sejarah termasuk salah satu pesantren yang menjadi pergerakan para ulama, santri dan masyarakat sekitarnya untuk melawan Kolonial Belanda.
Karena itu pemuda Surya dalam menuntut ilmu dipesantren tersebut agak terganggu sehingga beliau memutuskan untuk pulang kampung sementara. Setelah reda pergolakan Republik Indonesia dan Bangsa Indonesia mencapai puncak kemerdekaannya, Pemuda Surya melanjutkan menuntut ilmunya ke Podok Pesantren Sempur Purwakarta yang di asuh oleh Ulama Besar Walliyullah bernama “KH. Tubagus Ahmad Bakri Bin KH. Tubagus Syaeda” yang kala itu Pesantren Sempur merupakan salah satu Pesantren besar di Jawa barat sehingga ada pribahasa dikalangan santri “Kurang sempurna jadi santri di jawa barat kalau tidak mondok kesempur”.
Surya yang mempunyai pribadi yang tekun dan rajin didalam hatinya bergelora untuk terus menguras ilmu yang dimiliki oleh “Mbah Sempur”, sehingga dalam catatan perjalanannya mondoknya Pemuda Surya paling lama mesantren di Sempur. Dengan kearifan seorang guru yaitu Mbah Sempur yang Mursyid telah mengetahui ketekunan dan kerajinan belajar muridnya yang bernama Surya begitu tinggi dan beliau “Mbah Sempur” menaruh harapan yang tinggi kepada pemuda Surya untuk bisa meneruskan perjuangan para Alim Ulama sebagai Warosatul Anbiya kelak dikemudian hari. Perhatian Mbah Sempur kepada Surya yang begitu tinggi tidak membuat sikap dan hati pemuda Surya lantas menjadi sombong tapi justru sebaliknya ia menjadi rendah hati dan terus meminta petunjuk Sang guru.
Hal itu beliau buktikan ketika mau pindah kepesantren lain selalu minta ridho dan persetujuan Mbah sempur. Setelah mendapat restu dari Mbah Sempur Pemuda Surya melanjutkan mesantren di pondok pesantren Waru Doyong Sukabumi walaupun hanya beberapa bulan saja. Setelah itu kembali lagi ke sempur. Atas permintaan keluarga dirumah (Rawamerta) terutama kakenya Mbah Mail, pemuda Surya melangsungkan Nikah Sirih dengan Hj. Qona’ah. Tetapi tidak lama kemudian Beliau melanjutkan pengembaraannya untuk menuntut ilmu ke Pondok Pesantren Lirboyo-Kediri-Jawa Timur yang saat itu di asuh oleh dua tokoh pejuang kemerdekaan yaitu KH. Marjuki Dahlan dan KH. Mahrus Ali. Pemuda Surya terus menimba ilmu agama kepada kedua tokoh tersebut disamping menggali ilmu-ilmu keorganisasian kepada KH. Mahrus Ali, karena KH. Mahrus Ali termasuk pejuang kemerdekaan, perintis kodam V Brawijaya dan pengurus besar Nahdlatul Ulama (NU).
Nama kecil Surya diganti menjadi KH. AHMAD BUSHAERI setelah beliau menunaikan ibadah haji pada tahun 1957.
BERJUANG MENDIRIKAN PNA
Dalam catatan sejarah pesantren Nihayatul Amal yang terletak kurang lebih 15 KM dari kota Karawang, peletakan batu pertamanya tahun 1963 dan diresmikan pada tahun 1965 merupakan sebuah lembaga pendidikan tradisional klasik. PNA lahir dari masyarakat untuk masyarakat, hal itu dibuktikan dengan terlibatnya unsur lapisan masyarakat, tokoh agama dan pejabat pemerintahan seperti: KH. Ahmad Syatibi sebagai tikih agama, Camat Jabarudin sebagai pejabat pemerintahan, Mbah Uca selaku orang tua serta Mbah Mail sebagai tokoh masyarakat sekaligus sebagai kakek beliau.
KH. Ahmad Bushaeri yang baru datang dari pesantren Lirbooyo langsung dibebani tugas dan ditunjuk untuk memimpin PNA bersama-sama KH. Ali Mursyidi, KH. Taryan Sulaeman (Kang Iyong), dan Ustad H. Mad Kamil. Beliau bahu membahu bersama para pengajar lainnya untuk membesarkan dan membimbing langsung para santri Nihayatul Amal pada saat itu dalam mengkaji kitab-kitab kuning (Kutub Sofro) yang merupakan literatur wajib pondok-pondok pesantren Salaf. (untuk susunan Pengurus Pondok Pesantren Nihayatul Amal Rawamerta di awal kepengurusan, lihat pada bagian F).
Selanjutnya dalam mengembangkan pesantren Nihayatul Amal, KH Ahmad Bushaeri yang didukung oleh KH. Syatibi selaku tokoh agama di Sukamerta terus menjalin komunikasi dengan semua unsur termasuk pejabat pemerintah yang saat itu berada dibawah naungan pemerintah Orde Baru. Kita semua tahu bagaimana politik Orde Baru yang mencoba memposisikan para ulama-ulama pesantren untuk tidak berpolitik praktis. Beliau KH. Ahmad Bushaeri yang mempunyai prinsip politiknya seperti ikan dalam lautan (Air laut boleh asin tapi ikannya tetap tawar), disini terbersit begitu dalam dan mahirnya KH. Ahmad Bushaeri berpolitik.
Beliau menyadari bahwa perjuangan untuk menegakakn Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan meneruskan perjuangan pondok pesantren merupakan basis lembaga pendidikan agama Islam harus terus maju dalam kondisi apapun. Sebab beliau KH. Ahmad Bushaeri didalam hatinya ingin mencetak kader-kader agama (santri) yang mampu menguasai ilmu agama dan taat beribadah kepada Allah SWT, Serta bersikap tawadhu. Sikap tawadhu ini yang menjadi ciri khas kepribadian beliau.
Kerendahan hati beliau KH Ahmad Bushaeri terbukti ketika ditanya oleh teman mesantrennya “berapa ssantrinya?” beliau menjawab cukup untuk shalat berjama’ah, padahal kita semua tahu bahwa PNA dalam kurun 20 tahun telah mengembangkan pondoknya dengan membuka pondok pesantren putri (Albanat) dengan pimpinan Ajeungan Anom (KH. Abdurrohman) yang berdiri pada tahun 1984. Selanjutnya pada tahun 1992 beliau membuka TK Tarbiyatul Wildan Nihayatul Amal dengan pimpinan KH. Mamduh Mastari, sekaligus cabang dari Sedayu – Gresik – Jawa Timur yang diresmikan langsung oleh KH. Abdul Muksit Muhammad Sidayu. Saat itu jumlah santri seluruhnya kurang lebih 900 santri putra-putri dan taman kanak-kanak. Dan baru pada tahun 1996 atas prakasa beliau sendiri dan desakan para alumni serta tokoh masyarakat PNA membuka lembaga pendidikan formal yaitu Madrasah Ibtidaiyyah Nihayatul Amal. Pada tanggal 08 Agustus 1999 beliau juga membuka Tarbiyyatul Atfal dengan Pimpinan KH. Umar Syahid. Tidak lama kemudian berdiri SMP Nihayatul Amal pada tahun 2002 dilanjutkan dengan berdirinya MA Nihayatul Amal pada tahun 2005 dan pada tahun 2009 ini berdirilah SMK Nihayatul Amal.